Desy Ayu Lestari_TI-Kelas D

Senin, 03 Juni 2013

TUGAS RESUME MICROSOFT EXCEL (FUNGSI VLOOKUP, HLOOKUP, DAN LEFT MID & RIGHT)

MICROSOFT EXCEL (FUNGSI VLOOKUP, HLOOKUP, DAN LEFT MID & RIGHT)

Microsoft Excel memiliki tiga fungsi khusus, yaitu sebagai berikut:

1. VLOOKUP

Fungsi VLOOKUP adalah pengambilan data dari sel yang diuji pada tabel besar (tabel pengisian) berdasarkan kolom (tabel bantu). Atau digunakan untuk melakukan pencarian nilai dari suatu tabel/range referensi. Adapun formula atau penulisan fungsi VLOOKUP, sebagai berikut:

RUMUS : =VLOOKUP(Sel Uji, Nama Tabel, No. Kolom)

Contoh penggunaan fungsi VLOOKUP

Dalam gambar di atas terdapat dua kolom yang berbeda, sebelah kiri merupakan tabel bantu dan tabel sebelah kanan merupakan tabel besar (tabel pengisian). Contoh tabel tersebut merupakan pemanfaatan VLOOKUP dalam memudahkan melakukan pendataan jenis, harga, serta kualitas barangnya yang diambil berdasarkan kode barang. Dimana dalam VLOOKUP ini pengambllan data berdasarkan kolomnya.

Contok aplikasi rumus VLOOKUP, sebagai berikut:

=VLOOKUP(Sel Uji[DAL1] , Nama Tabel[DAL2] , No. Kolom[DAL3] )

=VLOOKUP(G2,$B$2:$E$7,2) : contoh formula atau fungsi yang digunakan untuk pengisian jenis barang berdasarkan kode yang digunakan.

=VLOOKUP(G2,$B$2:$E$7,3) : contoh formula atau fungsi yang digunakan untuk pengisian harga barang berdasarkan kode yang digunakan.

=VLOOKUP(G2,$B$2:$E$7,4) : contoh formula atau fungsi yang digunakan untuk pengisian kualitas barang berdasarkan kode yang digunakan.

2. HLOOKUP

Fungsi HLOOKUP adalah pengambilan data dari sel yang diuji pada tabel besar (tabel pengisian) berdasarkan baris (tabel bantu).

RUMUS : =HLOOKUP(Sel Uji, Nama Tabel, No. Baris)

Penggunaan HLOOKUP dan VLOOKUP sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja yang membedakan adalah tabel bantu yang digunakan tersusun secara vertikal berdasarkan baris. Berikut contoh tabel bantu HLOOKUP yang digunakan untuk melakukan pendataan jenis, harga, serta kualitas barangnya yang diambil berdasarkan kode barang seperti pada contoh VLOOKUP sebelumnya.

Contoh penggunaan fungsi HLOOKUP

Contok aplikasi rumus HLOOKUP berdasarkan gambar di atas:

=HLOOKUP(Sel Uji[DAL4] , Nama Tabel[DAL5] , No. Baris[DAL6] )

=HLOOKUP(J2,$B$2:$G$5,2) : contoh formula atau fungsi yang digunakan untuk pengisian jenis barang berdasarkan kode yang digunakan.

=HLOOKUP(J2,$B$2:$G$5,3) : contoh formula atau fungsi yang digunakan untuk pengisian harga barang berdasarkan kode yang digunakan.

=HLOOKUP(J2,$B$2:$G$5,4) : contoh formula atau fungsi yang digunakan untuk pengisian kualitas barang berdasarkan kode yang digunakan.

3. LEFT, MID, dan RIGHT

Fungsi LEFT, MID, dan RIGHT adalah pengambilan sebagian data dari sel. Pengambilan data tersebut dapat berupa beberapa karakter dari posisi paling kiri, posisi tengah, dan beberapa karakter dari posisi paling kanan.

a. Fungsi LEFT

Fungsi Left adalah fungsi yang digunakan untuk mengambil beberapa karakter dari data di Microsoft Excel dimulai dari kiri.

Rumus umum fungsi Left adalah sebagai berikut :

RUMUS : =LEFT(text;num_char)

Text : tempat dimana data yang akan diambil karakternya.

Num_char : berapa jumlah karakter yang ingin kita ambil.

Contoh penggunaan fungsi LEFT

b. Fungsi MID

RUMUS : =MID(text;start_num;num_char)

Text : tempat dimana data yang akan diambil karakternya.

Start_num : karakter keberapa yang akan diambil dari kiri.

Num_char : berapa jumlah karakter yang ingin kita ambil.

Contoh penggunaan fungsi MID

c. Fungsi RIGHT

RUMUS : =RIGHT(text;num_char)

Text : tempat dimana data yang akan diambil karakternya.

Num_char : berapa jumlah karakter yang ingin kita ambil.

Contoh penggunaan fungsi RIGHT

[DAL1]Merupakan sel yang akan dilakukan pengujian dari tabel besar (tabel pengisian)

[DAL2]Merupakan semua sel yang akan digunakan sebagai tabel bantu. Yang juga menggunakan tambahan pengabsolutan range, dengan cara penekan tombol F4 pada keyboard.

[DAL3]Merupakan no. urutan kolom dari kiri ke kanan dari tabe bantu. Misal: dari tabel di atas yang akan dilakukan pengambilan data adalah harga, jadi yang di masukkan adalah angka 3 yang menunjukkan urutan kolom ke-3 dari tabel bantu tersebut.

[DAL4]Merupakan sel yang akan dilakukan pengujian dari tabel besar (tabel pengisian)

[DAL5]Merupakan semua sel yang akan digunakan sebagai tabel bantu. Yang juga menggunakan tambahan pengabsolutan range, dengan cara penekan tombol F4 pada keyboard.

[DAL6]Merupakan no. urutan baris dari atas ke bawah dari tabel bantu. Misal: dari tabel di atas yang akan dilakukan pengambilan data adalah harga, jadi yang di masukkan adalah angka 3 yang menunjukkan urutan baris ke-3 dari tabel bantu tersebut.

Langganan: Komentar (Atom)

LAPORAN PENGENDALIAN PES

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Pes masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit zoonesa yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis Bakteri ini dibawa oleh pinjal, sedangkan pinjal suka hidup pada hewan yang memiliki bulu halus seperti tikus, kucing, kera, dan terkadang juga hidup di tubuh manusia. Pinjal menyebarkan penyakit ketika mengisap darah tikus atau manusia. Hal ini patut diwaspadai karena tingkat kematian atau mortalitas yang tinggi terutama Pes Bubonik dan Pneumonik.

Di Bolivia dan Brazil, misalnya, terdapat lebih dari 100 laporan kasus pes per sejuta penduduk. Wabah pes dikenal dengan black death karena menyebabkan tiga jenis wabah, yaitu bubonik, pneumonik dan septikemik. Ketiganya menyerang system limfe tubuh, menyebabkan pembesaran kelenjar, panas tinggi, sakit kepala, muntah dan nyeri pada persendian. Wabah pneumonik juga menyebabkan batuk lendir berdarah, wabah septikemik menyebabkan warna kulit berubah menjadi merah lembayung. Dalam semua kasus, kematian datang dengan cepat dan tingkat kematian bervariasi dari 30-75% bagi bubonik, 90-95% bagi pneumonik dan 100% bagi septikemik. Selain itu Pes juga merupakan penyakit yang mempunyai potensi wabah karena penyebarannya yang cepat terlebih lagi penyakit ini juga mempunyai potensi menimbulkan PHEIC (Pubic Health Emergency of International Concern) atau masalah kesehatan masyarakat yang mendesak dan dapat menimbulkan keresahan secara Internasional. Negara yang dilaporkan terdapat kasus pes bisa diisolasi secara Internasional sampai wilayahnya dinyatakan bebas.

Penyakit pes dicirikan oleh ledakan-ledakan populasi tikus secara periodik yang dapat mengakibatkan kematian manusia dalam jumlah yang besar yang terdapat di daerah-daerah pedesaan dan perkotaan. Selama ledakan populasi tikus ini terjadi, pinjal-pinjal yang terinfeksi dan lapar yang telah kehilangan inang utamanya (tikus) mencari sumber darah yang lain, termasuk manusia dan hewan-hewan lain.

Saat ini epidemik penyakit pes masih terjadi terutama di daerah pedesaan di negara-negara yang miskin dan sedang berkembang. Epidemik penyakit ini pada manusia biasanya melibatkan pinjal tikus rumah yang berasosiasi dengan tikus tersebut. Penyakit pes pertama kali masuk Indonesia pada tahun 1910 melalui Tanjung Perak, Surabaya, kemudian tahun 1916 melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, tahun 1923 melalui pelabuhan Cirebon dan pada tahun 1927 melalui pelabuhan Tegal. Korban manusia meninggal karena pes dari 1910-1960 tercatat 245.375 orang, kematian tertinggi terjadi pada tahun 1934, yaitu 23.275 orang.

Indonesia masih mempunyai dua tempat yang sampai saat ini dijadikan sebagai daerah fokus Pes, yaitu Kecamatan Solo dan Capogo di Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah serta Dusun Sulorowo, Desa Kayukebek, Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Ditetapkannya wilayah di Kabupaten Pasuruan sebagai daerah fokus Pes, artinya daerah tersebut harus diawasi dan dilakukan sistem kewpasadaan diri supaya tidak terjadi KLB pes seperti yang pernah terjadi pada akhir tahun 1986.

Salah satu bidang dari upaya kesehatan adalah pemberantasan penyakit menular dan penyakit rakyat, yang dalam penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan, menggariskan Bahwa "Penyakit-penyakit menular seperti cacar, typhus, kholera, pes dan lain-lainnya jika timbul kasus segera diberantas. Penyakit endemis (penyakit rakyat) seperti malaria, TBC, frambusia, trakhoma, dan lain-lainnya harus dilenyapkan selekas-lekasnya". Memperhatikan pentingnya dilakukan upaya-upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tersebut, maka khususnya untuk menanggulangi penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah; yang kemudian diubah/ disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah.

Masalah wabah dan penanggulangannya tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari upaya kesehatan secara nasional yang mempunyai kaitan dengan sektor lainnya di luar kesehatan, serta tidak terlepas dari keterpaduan pembangunan nasional. Sesuai dengan UU RI nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, pemerintah ataupun organisasi lintas sector khususnya yang terkait yaitu Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten maupun puskesmas setempat wajib melakukan integrasi untuk upaya penanggulangan wabah meliputi: a) penyelidikan epidemiologis; b) pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; c) pencegahan dan pengebalan; d) pemusnahan penyebab penyakit; e) penanganan jenazah akibat wabah; f) penyuluhan kepada masyarakat; g) upaya penanggulangan lainnya. Peraturan tersebut semakin dimantapkan dengan Peraturan Presiden RI nomor 30 tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis pasal 1 yaitu “rangkaian kegiatan pengendalian zoonosis meliputi manajemen pengamatan, pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan penularan serta pemusnahan sumber zoonosis.”

Strategi pengendalian zoonosis dilakukan dengan mengutamakan prinsip pencegahan penularan kepada manusia dengan meningkatkan upaya pengendalian zoonosis pada sumber penularan. penguatan koordinasi lintas sektor, sinkronisasi, pembinaan, Pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi dan program perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans, pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan penularan, penanggulangan wabah atau kejadian luar biasa (KLB) dan pandemi serta pemusnahan sumber zoonosis pada hewan apabila diperlukan. Strategi lain adalah melalui penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan zoonosis baru. Peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis. Penguatan kapasitas sumber daya manusia, logistik, pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan anggaran pengendalian zoonosis. Penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi, LSM, dan organisasi profesi, serta pihak-pihak lain. Perpres No. 30/2011 juga mengatur pembentukan Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis yang bertindak sebagai Pusat Pengendalian Zoonosis saat terjadi kejadian luar biasa/wabah dan pandemi akibat zoonosis. Komnas diketuai Menko Kesra. Wakil Ketua terdiri dari Menkes, Mendagri, dan Mentan. Anggota terdiri dari Menlu, Menhan, Menkeu, Menhut, Mendiknas, Menristek, Menkominfo, Menhub, Men LH, Kepala Bappenas, Men PP dan PA, Menbudpar, Panglima TNI, Kapolri, Sesneg, dan Ketua Umum PMI. Sekretaris Komnas adalah Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Kesehatan, Kependudukan, dan Keluarga Berencana. Sementara Wakil Sekretaris terdiri dari Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kemtan dan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemkes.

Di wilayah kabupaten Jember tepatnya di desa Rowosari, Dusun Lemongan, Kecamatan Suberjambe, Kabupaten Jember telah ditemukan kasus serum tikus yang positif mengandung bakteri Yersinia pestis, sehingga pihak puskesmas Sumber Jambe segera melakukan tindakan penaggulangan dan pencegahan. Penanggulangan yang dilakukan yaitu pemusnahan penyebab penyakit yaitu pinjal dan tikus. Hal ini dibuktikan dengan kegiatan yang sebelumnya pernah dilakukan yaitu dengan menggunakan daselon yang diisi dengan kapur putih dan insektisida untuk membunuh pinjal dan melakukan trapping tikus dan pengambilan serum tikus yang dilakukan oleh pihak puskesmas Sumber Jambe dan mahasiswa Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember yang telah dilakukan pada tanggal 10 hingga 14 Desember 2012. Cara dan hasil pengidentifikasian tikus lebih lanjut dapat dibaca pada keseluruhan dalam laporan praktikum kesehatan lingkungan ini.

1.2 Dasar Hukum

a. UU No.1 dan 2 tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Udara.

b. UU No.4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

c. UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

d. PP No.40 tahun 1991 tentang Pedoman Penanggulangan Wabah Penyakit Menular.

e. Peraturan Presiden No.30 tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis.

f. Kepmenkes No,1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.

g. Kepmenkes No.1479/MENKES/SK/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilens Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular.

h. Permenkes No.949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadan Dini KLB.

i. Permenkes No.1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.

j. International Health Regulations 2005.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan diadakannya kegiatan pengendalian Pes sebagai berikut:

a. Mempertahankan agar kasus kematian karena Pes tetap nol di Desa Rowosari, Dusun Lemongan, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember.

b. Mencegah penularan Pes dari Daerah Sumber Jambe ke daerah lain termasuk dari negara lain.

c. Memantau bekas lokasi Pes akan terjadinya relaps.

d. Mencegah dan menangkal masuknya Pes di Desa Rowosari, Dusun Lemongan, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tikus

Tikus dan mencit termasuk familia Muridae dari kelompok mamalia. Para ahli zoologi sepakat untuk menggolongkannya ke dalam ordo Rodensia (hewan mengerat), sub ordo Myomorpha, familia Muridae, dan sub ordo Murinae. Anggota Muridae ini dominan di sebagian kawasan dunia. Potensi reproduksi tikus dan mencit sangat tinggi dan ciri yang menarik adalah gigi serinya beradaptasi untuk mengerat dan menggigit benda-benda keras. Rattus norvegicus (tikus got) berperilaku menggali lubang di tanah dan hidup di dalamnya. Sebaliknya Rattus rattus, diardii (tikus rumah) tidak tinggal di tanah tetapi di semak-semak dan atau atap bangunan. Mus Musculus (mencit) selalu berada di dalam bangunan, sarangnya biasa ditemui di dalam dinding lapisan atap (eternit), kotak penyimpanan atau laci (Sub Dit. Zooonosis, 2002).

Rodensia termasuk binatang noktural, keluar sarang dan aktif pada malam hari untuk mencari makan. Untuk itu diperlukan suatu kemampuan khusus agar bebas mencari makanan dan menyelamatkan diri dari predator (pemangsa) pada suasana gelap. Rodensia mempunyai daya cium yang tajam, sebelum aktif/keluar sarangnya, ia akan mencium-cium dengan menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan, mengeluarkan jejak bau selama orientasi sekitar sarangnya sebelum meninggalkannya. Urin dan sekresi genital memberikan jejak bau yang selanjutnya akan dideteksi dan diikuti oleh tikus lainnya. Bau penting untuk rodensia karena bau ini dapat membedakan antara tikus sefamili atau tikus asing. Bau juga memberikan tanda akan bahaya yang telah dialami. Rasa menyentuh sangat berkembang di kalangan rodensia komensal, ini untuk membantu pergerakannya sepanjang jejak di malam hari. Sentuhan badan dan kibasan ekor akan tetap digunakan selama menjelajah, kontak dengan lantai, dinding, dan benda lain yang dekat sangat membantu dalam orientasi dan kewaspadaan binatang ini terhadap ada atau tidaknya rintangan di depannya. Rodensia sangat sensitif terhadap suara yang mendadak. Disamping itu rodensia dapat mendengar dan mengirim suara ultra. Mata tikus khusus untuk melihat pada malam hari. Tikus dapat mendeteksi gerakan pada jarak lebih dari 10 meter dan dapat membedakan antara pola benda yang sederhana dengan obyek yang ukurannya berbeda-beda. Tikus mampu melakukan persepsi/perkiraan pada jarak lebih dari 1 meter. Rasa pengecap pads tikus berkembang sangat baik. Tikus dan mencit dapat mendeteksi dan menolak air minum yang mengandung rasa pahit, dan senyawa racun (Dit.Jen PPM&PL, 2002).

Salah satu ciri dari hewan ini adalah gigi serinya yang beradaptasi untuk mengerat dan menggigit benda keras dan secara tetap terus tumbuh memanjang, tumbuh sepasang pada rahang atas dan sepasang pada rahang bawah. Potensi reproduksi tikus sangat tinggi, penyebarannya luas dan mudah beradaptasi pada lingkungan yang baru. Tikus dan mencit mencapai umur dewasa sangat cepat, masa kebuntingannya pendek, jumlah anak pada setiap kebuntingan cukup banyak, tikus dikenal sebagai binatang cosmopolitan yaitu hidup menempati semua habitat. Selain termasuk hewan noktural (mencari makan pada malam hari), kehidupan tikus cenderung menyukai lingkungan yang dekat dengan kegiatan manusia. Tikus memiliki indera yang sangat peka. Indera penciuman, indera penyentuh, pengecap, maupun pendengarannya berkembang dengan baik. Jejak bau dari urin dan sekresi genital yang dikenali tikus lain untuk mengenal keberadaannya. Tikus dapat membedakan tikus famili atau tikus asing. Pendengaran tikus sangat sensisitf sehingga membuatnya reaktif terhadap sesuatu yang mengancam dirinya. Kemampuan reproduksi yang tinggi, kepekaan indera serta kegesitan gerakan tikus membuat tikus sulit dijebak dan populasinya di alam sulit dikendalikan.

Tikus dapat berperan sebagai reservoir atau sekaligus sebagai vektor penyakit. Penyakit yang ditularkan dapat disebabkan oleh infeksi berbagai agent penyakit dari kelompok virus, rickettsia, bakteri, protozoa dan cacing. Penyakit tersebut dapat ditularkan kepada manusia secara langsung melalui ludah, urin dan fesesnya, atau melalui ektoparasit yang hidup di permukaan tubuhnya. Beberapa penyakit penting yang dapat ditularkan kepada manusia antara lain pes, salmonellosis, leptospirosis, dan murin thypus. Menghindari kontak dan atau menjauhkan diri dari tikus merupakan salah satu upaya untuk mencegah penularan penyakit bersumber tikus.

2.1.1 Kemampuan Fisik

Dalam menunjang aktivitas hidupnya, selain organ indera, tikus juga memiliki kemampuan fisik yang sifatnya khas/unik atau mungkin juga dimiliki oleh beberapa jenis hewan lainnya. Kemapuan fisik tersebut adalah sebagai berikut :

1. Memanjat (climbing)

R.rattus, Mus musculus, dan beberapa spesies tikus lainnya bersifat arboreal. Artinya, tikus tersebut mampu memanjat pohon, permukaan tembok yang kasar, berjalan pada seutas kawat, dan turun dari suatu ketinggian dengan kepala menuju ke bawah tanpa mengalami kesulitan.

Kemampuan tikus arboreal dalam memanjat ditunjang oleh adanya tonjolan pada telapak kaki yang disebut dengan footpad. Tonjolan tersebut biasanya berukuran lebih besar dan permukaannya lebih kasar dibandingkan dengan tikus terestrial yang memang kurang pandai memanjat. Foot pad ini masih ditambah oleh cakar yang berguna untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat keseimbangan pada saat memanjat. Ekor tikus arboreal berukuran lebih panjang daripada kepala dan badannya dibandingkan dengan ekor tikus terestrial yang lebih pendek daripada kepala dan badannya.

2. Meloncat (jumping)

Sesuai dengan otot-otot kakinya yang relatif kuat, tikus dapat meloncat cukup baik. Mus musculus dapat meloncat vertikal sampai 25 cm.

3. Mengerat (gnawing)

Tikus dan mencit mengerat dengan bantuan bahan-bahan yang keras. Menurut catatan, tikus dapat merusak bahan-bahan yang keras sampai nilai 5,5 pada skala kekerasan geologi. Bahan-bahan yang dikerat tersebut termasuk kayu pada bangunan, lembaran aluminium, beton berkualitas buruk, dan aspal. Logam yang dilapisi secara galvanis dan bahan-bahan yang mempunyai skala kekerasan geologi lebih dari 5,5 tidak dapat ditembus oleh gigi seri tikus. Dengan demikian, bahan-bahan tersebut sering dipakai sebagai barrier atau penghalang mekanis dari gangguan tikus.

4. Berenang (swimming) dan Menyelam (diving)

Tikus merupakan hewan yang pandai berenang. Di dalam suatu percobaan untuk melihat kemampuan tikus berenang dalam keadaan terpaksa, tikus dapat berenang selama 50-72 jam pada suatu bak air dengan suhu 35⁰C, dengan kecepatan berenang 1,4 km/jam untuk tikus dan 0,7 km/jam untuk mencit. Kemampuan menyelam yang dimiliki tikus, maksimum mencapai 300 detik. Tikus berenang dengan menggunakan kedua kaki belakangnya dengan cara menendang secara bergantian.

2.1.2 Identifikasi Tikus

Setelah tikus mati, untuk mengetahui jenisnya dilakukan kegaiatan sebagai berikut :

a. Timbang berat badannya

b. Ukur panjang badan (TL)

c. Ukur panjang ekor (T)

d. Ukur panjang telapak kaki belakang (HF)

e. Ukur panjang telinga (E)

f. Lihat rumus puting susunya (M)

g. Lihat warna bulu punggung dan bulu perutnya

h. Lihat warna ekor bagian atas dan bawah

i. Lihat bulu badan (kasar atau halus, terutama bagian pangkal ekor)

j. Cocokkan ciri-ciri morfologi tikus di atas dengan kunci identifikasi (kunci identifikasi dikotomi atau kunci identifikasi bergambar) atau dengan peraga.

Tabel 2.1 Identifikasi Tikus Berdasarkan Ukuran dan Warna Bulu Badan

TL (mm)	T (%)	HF (mm)	E (mm)	M (mm)	Warna Bulu Badan	Kesimpulan (Jenis Tikus)
220-370	95-115	23-38	19-23	2+3=10	Atas-bawah, cokelat tua-kelabu	Rattus-rattus, diare (Rattus tanezumii)
350-400	80-100	42-47	18-23	3+3=12	Atas coklat kelabu, bawah kelabu	Rattus norvegicus
180-400	100-120	24-30		2+2=8	Atas cokelat tua keabuan, bawah putih kelabu	Rattus exulans
180-400		32-39		2+3=10	Atas cokelat, bawah putih krem	Rattus tiomanicus
>180	100-150	26-29				Rattus riviventer
<75	80-120	12-18	8-12	3+2=10	Atas cokelat kelabu, bawah cokelat kelabu	Mus musculus

Keterangan : TL - Panjang tubuh total dari ujung kepala-ujung ekor

T - Panjang ekor dibandingkan dengan panjang badan

HF - Panjang telapak kaki belakang

E - panjang telinga

M - Jumlah pasangan puting susu (dada + perut)

2.2 Pinjal

2.2.1 Definisi, Siklus, dan Peranannya dalam Penularan Penyakit

Vektor penyakit adalah pinjal (siphonaptera) yang hidup sebagai ektoparasit pada tikus atau rodensia lain seperti kelinci, bajing dan kucing. Pinjal adalah serangga kecil, ordo siphonaptera, berukuran panjang 1,5 – 4 mm, pipih dibagian samping (dorso-lateral), kepala-thorax-abdomen terpisah secara jelas, dilengkapi banyak bulu kaku yang mengarah ke belakang, tidak bersayap, berkaki panjang terutama kaki belakang, bergerak aktif di antara rambut inang, dapat meloncat, dan berwarna coklat muda atau coklat tua (Ristiyanto et al, 1999).

Pinjal mengalami metamorfosa sempurna. Siklus hidup pinjal terdiri dari 4 tahap yaitu telur-larva-pupa-dewasa. Telur pinjal sangat kecil, berbentuk oval, berukuran 0,4 – 0,5 mm, berwarna putih, dan apabila menjelang menetas berwarna kuning kecoklatan (James dan Harwood, 1966).

Borror et al (1992) menyatakan, larva pinjal berukuran 2-6 mm, berwarna putih, seperti ulat, tidak berkaki, tidak bermata, dan berbulu kasar. Mulut tipe menggigit, makanannya terdiri dari bahan organik, sisa darah yang mengering yang terdapat pada feses pinjal atau sisa darah inang. Stadium larva mengalami 2 kali ganti kulit. Larva tumbuh menjadi pupa setelah 6 hari pada suhu 18-24°C dan kelembaban 60%. Pupa terbungkus oleh bahan seperti debu, pasir atau partikel lain secara tidak teratur, berwarna kuning kecoklatan. Perkembangan pupa menjadi pinjal dewasa memerlukan waktu 5-7 hari pada suhu 30°C, atau 7-14 hari pada suhu 18-23°C bila kelebaban 90%. Setelah keluar dari pupa pinjal aktif mencari makan atau menghisap darah inangnya. Siklus hidup pinjal dari telur sampai menjadi pinjal dewasa memerlukan waktu 63-77 hari. Pinjal dewasa bergerak meloncat, beberapa species mampu meloncat setinggi 30 cm. Sebagian besar pinjal makan pada 1-2 inang, tetapi dalam keadaan tidak normal mencari inang lain termasuk manusia. Pinjal dewasa tahan hidup beberapa bulan tanpa makan (Gratz dan Brown, 1983).

Pinjal ditemukan hampir di seluruh tubuh inang yang ditumbuhi rambut. Pinjal dewasa bersifat parasit, sedang pradewasanya hidup di sarang, tempat berlindung, atau tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus. Dengan bulu gena atau pronotal dan bulu okularnya, pinjal mudah bergerak lincah di antara rambut-rambut inangnya dan menjaga posisinya agar tetap berdiri tegak. Karakter alat mulut mempunyai struktur dan susunan sedemikian rupa sehingga mampu membuat luka tusukan pada bagian kulit tebal dengan proteksi dan retraksi lasiniannya yang kuat (Gratz, 1999).

Peran pinjal dalam siklus penularan penyakit bersumber tikus adalah sebagai vektor biologis, yaitu hewan tempat patogen mengalami perkembangan dan perbanyakan sebelum ditularkan (Nalim dan Triboewono, 1987).

Menurut Gratz (1999) di Indonesia dikenal ada 4 species pinjal yang mampu menjadi vektor perantara dan reservoir sementara penyakit pes. Species tersebut adalah Xenosylia cheopis, Pulex iritans, Neopsylia sondaica dan Stivalius cogantus.

Pinjal St.cognatus dan N.sondaica adalah pinjal tikus liar dataran tinggi (pegunungan), sedang X.cheopis merupakan pinjal tikus rumah. Oleh karena itu X.cheopis ditemukan hanya pada tikus rumah R.rattus. diardii dan Cecurut rumah (Suncus Murinus). Pinjal yang berperan sebagai vektor utama penyakit pes adalah pinjal tikus X.cheopis, disamping pinjal Stivalius cognatus. (Tumer et al, 1974).

Pinjal menjadi inefektif apabila menghisap darah dari inang sakit atau telah terinfeksi Y.pestis. pinjal jantan dan betina keduanya menghisap darah inang dan menyebarkan bakteri pes. Rata-rata kapasitas X.cheopis untuk menghisap darah kurang lebih 0,5 mm³, dan didalamnya mampu mengandung 5000 bakteri pes dari tikus terinfeksi. Di masa epidemi atau musim kering persentase pinjal infektif lebih tinggi. Interval antara saat menghisap darah dengan masa infektif terjadi setelah 21 hari (5 – 31 hari) untuk X.cheopis, dan rata-rata masa infektif berlangsung selama 17 hari atau maksimal sampai 44 hari (Anonim, 1992).

Ciri-ciri morfologi pinjal sebagai berikut :

a. Tubuh kecil, ukuran 1,5 – 4 mm, bentuk pipih lateral

b. Tidak bersayap

c. Mulut tersembunyi, berfungsi untuk menusuk dan menghisap

d. Memiliki 3 pasang kaki yang panjang dan kuat, berfungsi untuk meloncat

e. Memiliki rambut mata (ocular bristle) di sekitar mata dimana ketak dan jumlah rambutnya dapat untuk identifikasi pinjal

f. Abdomen (perut) pinjal terdiri dari 10-12 segmen

1) Betina : bentuk ujung abdomen (posterior) membulat dan pada segmen 8 atau 9 terdapat spermateca (alat penampung sperma)

2) Jantan : bentuk ujung abdomen (posterior) meruncing keatas (dorsal) dan segmen ke 5 atau ke 6 terdapat clasper (sejenis penis/ alat kelamin jantan)

g. Pada beberapa jenis pinjal ditemukan adanya comb/ctenedium yang berbentuk seperti sisir. Berdasarkan letaknya dibedakan antara genal comb (oral comb) yaitu comb yang terdapat di atas mulut, dan thoraxal comb (pronotal comb) yaitu comb yang terdapat pada protorax.

Untuk mengidentifikasi jenis pinjal perlu diperhatikan ciri-ciri khas morfologi yang dimiliki oleh masing-masing pinjal. Bagian-bagian tubuh yang biasa digunakan sebagai kunci identifikasi adalah :

1) Keberadaan comb, baik genal comb (oral comb) maupun thoraxal comb (pronotal comb).

2) Keberadaan dan jumlah ocular bristle.

3) Bentuk kepala.

4) Jumlah dan jenis spina (gigi sisir/comb) pada genel dan thoraxal comb.

Comb	Ocular Bristle	Bentuk Kepala	Spina	Genus Pinjal
Tidak ada	Di depan mata			Xenopsylia
Tidak ada	Di bawah mata			Pulex
Tidak ada		Besar ujung runcing		Tunga
thoraxal	Lebih dari 1			Nosopsyllus
Oral & thoraxal				ctenocephalides

Pembawa Y.pestis juga mungkin terdapat pada hewan mamalia lain. Spesimen serum yang terkumpul selama 1 minggu dikirim ke BBLK Surabaya dan pooling pinjal dikirim untuk uji di Lab Zoonosis Nongkojajar. Pemeriksaan spesimen dilakukan di laboratorium yang ditunjuk dan umpan balik hasil pemeriksaan.

2.2.2 Sistem Kewaspadaan Dini SKD/KLB

a. Variabel umum :

1) Musim paceklik atau pasca panen.

2) Terganggunya habitat tikus akibat perubahan ekosistem, misalnya penebangan/kebakaran hutan, aktifitas gunung berapi meningkat/meletus, tanah longsor dan lain-lain.

3) Banyak tikus mati tanpa sebab yang jelas (rat fall).

4) Hasil tangkapan tikus di rumah lebih banyak dari pada tikus di kebun.

b. Indikator KLB:

1) Peningkatan serokonversi 4 kali pada 2 kali pengambilan.

2) IPU ≥2 dan IPK ≥1.

3) Situasi ditemukan kuman Yersinia pestis.

Keadaan dinyatakan wabah apabila terpenuhinya indikator KLB dan dinyatakan melalui keputusan Menteri Kesehatan RI.

2.2.3 Pengendalian Vektor/ Pinjal

Pengendalian vektor/pinjal dilakukan setelah suatu daerah dinyatakan terjadi wabah. Tindak lanjut setelah terjadi wabah adalah dengan meningkatkan pengamatan pada manusia dan hewan/rodent maupun pinjal (ekstra trapping), pengobatan penderita dan pengobatan profilaksis secara masal, isolasi rumah (pes bubo) maupun isolasi wilayah (pes paru), flea trap dan dusting Indikator : IPU ≥2 dan IPK ≥1. Metode pengendalian vektor adalah dengan duslon dan dusting apabila telah terjadi KLB/wabah. Bahan dusting memakai insektisida (b.a: Fenitrothion, Bendiocarb) dan dicampur kaolin (tepung kalsium) dengan dosis aplikasi sesuai uji kepekaan (umumnya 1,5 – 1,75%).

2.3 Pes

2.3.1 Definisi Pes

Pes merupakan salah satu penyakit zoonosa (bersumber binatang) terutama pada tikus atau rodent dan dapat ditularkan kepada manusia. Penyakit yang dikenal juga dengan nama black death ini disebabkan kuman yersinia pestis (pasteurella pestis) melalui gigitan pinjal yang merupakan vektor penyakit ini. Sejak epidemi pertama yang tercatat di abad keenam masehi, sampai sekarang diperkirakan wabah pes ini telah merenggut hampir 200 juta jiwa manusia. Berdasarkan gambar sebenarnya (World Distribution Plague, 1998) penyakit pes tersebar di hampir seluruh muka bumi. Dilaporkan pada rentang antara 1970-1998 wabah pes terjadi di Amerika bagian tengah sampai pantai timur, Brazili, Peru, Afrika utara, Afrika selatan, asia tengah, asia timur dan asia selatan. Adapun wilayah yang ditemukan pes pada hewan di pantai barat Amerika Serikat, Afrika Barat, Afrika selatan, Asia Tengah dan asia timur, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini:

2.3.2 Sejarah

Sejarah mencatat epidemi pes pertama terjadi pada abad ke enam dan ikut menghancurkan ke kaisaran Bizantium lalu dikenal dengan istilah wabah Yustinianus. Di abad ke-14 wabah penyakit pes telah menewaskan seperempat hingga setengah dari penduduk Eropa. Wabah diperkirakan berasal dari gurun Gobi yang menyebar ke Eropa yang dibawa oleh kutu tikus melalui jalur-jalur perdagangan. Wabah juga menyebar ke Konstatinopel kemudian meluas ke Alexandria. Kejadian di tahun 1347 tersebut menewaskan ribuan jiwa setiap hari yang terus menambah ke Eropa Barat. Wabah besar meski dengan tingkat keparahan yang lebih rendah masih terus terjadi di Eropa. Pada tahun 1649 terjadi wabah besar Seville, wabah besar London terjadi di 1665-1666, wabah besar Wina di tahun 1679 dan pada tahun 1720 di Marseille. Wabah di Prancis tersebut merupakan wabah besar terakhir di Eropa kemudian di pertengahan abad ke-19 wabah muncul kembali. Pandemi ketiga dimulai di Asia tengah. Pes membunuh jutaan orang di Cina dan India kemudian menyerang sebuah koloni Inggris dan kemudian menyebar keseluruh dunia. Wabah terus menjalar hingga awal abad 20 pada tahun 1994 dan 2010 dilaporkan telah terjadi kasus di Peru.

2.3.3 Wabah Pes di Indonesia

Sudah lebih kurang 100 tahun yang lalu penyakit pes tercatat pertama kali masuk dan kemudian menyebar di Indonesia lewat kapal pengangkut beras dari Rangoon yang bersandar di pelabuhan Surabaya. Selain Surabaya tercatat pula masuk pelabuhan Semarang pada tahun 1916, pelabuhan Cirebon pada tahun 1923, serta pelabuhan Tegal pada tahun 1927.

Dari tahun 1910 hingga 1960 pes telah menebar kematian hingga 243375 jiwa. Sejak 1960-1968 tidak ada lagi laporan kasus pes di Jawa. Tetapi pada tahun 1968 dan 1970 kasus pes muncul kembali di kecamatan Selo dan Cepogo kabupaten boyolali Jawa Tengah.

2.4 Pengendalian Pes

2.4.1 Strategi Pengendalian menurut Peraturan Presiden

Delapan strategi pengendalian zoonosis menurut peraturan presiden No.30 Tahun 2011 yaitu:

a. Mengutamakan prinsip pencegahan penularan kepada manusia dengan meningkatkan upaya pengendalian zoonosis pada sumber penularan.

b. Penguatan koordinasi lintas sektor dalam rangka membangun sistem pengendalian zoonosis, sinkronisasi, pembinaa, pengawasan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi dan program.

c. Perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveeilans pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan penularan, penanggulangan KLB/wabah dan pandemi serta pemusnahan sumber zoonosis pada hewan apabila diperlukan.

d. Penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan zoonosis baru.

e. Peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis.

f. Penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, logistik, pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan anggaran pengendalian zoonosis.

g. Penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis

h. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta pihak-pihak lain.

2.4.2 Kebijakan Pengendalian Pes

a. Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat zoonosis (pes).

b. Peningkatan pencegahan dan pengendalian faktor resiko.

c. Peningkatan penemuan dan tatalaksana penderita/kasus.

d. Peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah.

e. Peningkatan KIE.

2.4.3 Sasaran

a. Masyarakat berisiko tertular pes.

b. Daerah pengamatan pes.

c. Semua stakeholder terkait pengendalian pes.

2.4.4 Strategi

a. Pengembangan jejaring di setiap tingkatan.

b. Terintegrasi, lintas sektor-lintas program, vertikal maupun horisontal.

c. Peran aktif semua stakeholder dan seluruh lapisan masyarakat.

d. Pembiayaan; pusat, pemda, masyarakat serta sumber dana lain.

e. Peningkatan kapasitas sumber daya secara terpadu.

2.4.5 Kegiatan Pengendalian Pes

a. Melaksanakan kegiatan pengamatan secara aktif dan pasif terhadap manusia, rodent dan pinjalnya.

b. Melaksanakan pengobatan terhadap penderita.

c. Melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.

d. Melaksanakan pemberantasan vektor dan tindakan perbaikan lingkungan.

e. Melaksanakan evaluasi 10 tahunan.

f. Menyikapi indikator early warning system.

2.4.6 Pelaksanaan Kegiatan

a. Melaksanakan pengamatan (surveilans) terhadap rodent dan pinjal, manusia dan hewan lain di daerah fokus pes, terancam pes, dan bekas daerah fokus.

b. Melaksanakan pengobatan

1) Terapi

a) Streptomycin 3gr (lm)/hari/2 hari à 2gr/hari/5 hari

b) Setelah panas hilang à Tetracyclin 4-6 gr/hari/2 hari à 2 gr/hari/5 hari atau

c) Chloramphenicol 6-8 gr/hari/2 hari à 2gr/hari/5 hari

2) Profilaksia

a) Kontakn serumah dengan penderita pes Bubo

b) Seluruh penduduk Desa/Dusun/RW jika ada penderita Pes Paru

c. Pemberantasan vektor.

d. Susceptibility test dari pinjal terhadap insektisida.

e. Trapping untuk mengetahui flea index sebelum melakukan dusting.

f. Melakukan dusting.

g. Trapping sesudah dusting (7 hari sesudah dusting untuk mengathui flea index).

h. Resitensi test Y. Pestis terhadap streptomycin/antibiotik lain.

i. Pemeriksaan laboratorium.

j. Penyuluhan pes kepada masyarakat.

k. Pencatatan dan pelaporan à form W1

l. Ketenagaan:

1) Tenaga pengelola pes di lapangan à Dinkes Kab/Kota dan Puskesmas.

2) Petugas Lab dan penangkap tikus à tenaga harian/honorer.
BAB 3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Tempat dan Waktu Praktikum

3.1.1 Tempat Praktikum

Pemasangan trapping dilakukan di desa Rowosari, Dusun Lemongan Kabupaten Jember. Sedangkan identifikasi tikus dan pinjal dilakukan di Puskesmas Sumber Jamber, Kabupaten Jember.

3.1.2 Waktu Praktikum

Praktikum dilakukan pada tanggal 10-14 Desember 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum pengendalian pes di desa Rowosari, Dusun Lemongan, Kabupaten Jember adalah:

a. Tikus

b. Pinjal

c. Perangkap tikus (perangkap hidup)

d. Umpan (ikan asin)

e. Kantong kain berwarna putih

f. Masker

g. Sarung tangan

h. Sikat sepatu

i. Penggaris

j. Ember

k. Pipet

l. Jarum suntik

m. Sentrifuge

n. Botol tempat pinjal

o. Alhokol

p. Kapas

q. Timbangan

r. Tabung steril tempat serum tikus

s. Alat tulis dan form pengamatan

3.3 Metode Pengamatan

Metode yang digunakan dalam praktikum pengendalian penyakit pes adalah metode survey, yaitu dengan melakukan kegiatan peninjauan, pengamatan dan pengukuran serta pengambilan data dan informasi melalui pengamatan langsung dilapangan.

3.4 Prosedur Praktikum

a. Pemasangan perangkap (trapping)

Pemasangan perangkap dilakukan pada siang hari. Caranya perangkap diberi umpan ikan asin, kemudian ditempatkan pada habitat tikus. Perangkap yang digunakan adalah perangkap tikus hidup (metal live trap) untuk menangkap tikus di dalam dan di luar rumah. Metode ini digunakan karena disamping kebiasaan tikus tinggal di dalam sarang yang sulit dipantau, penyebaran tikus sangat luas, sehingga sulit untuk memperkirakan jumlah populasi tikus sebenarnya di alam. Jumlah perangkap yang dipasang di masing-masing habitat sebanyak 56 perangkap tikus. Masing-masing rumah diberi 3 perangkap tikus yang berlabel, dengan ketentuan:

A: diletakkan diatas/di atap

B: diletakkan didalam rumah

C: diletakkan dipekarangan/ di kebun

b. Pada keesokan harinya perangkap diperiksa dan dikumpulkan kembali perangkap yang terdapat tikus. Sampel tikus diambil secara hapazart (sekenanya). Trapping ini dilakukan selama 5 hari berturut-turut. Tikus-tikus yang terperangkap hidup dimasukkan ke dalam kantong kain berlabel (kode rumah dan tempat habitat tikus) dan kemudian dibawa ke Puskesmas Sumber jambe untuk dilakukan pengambilan pinjal, identifikasi, dan pengambilan spesimen.

c. Tikus dalam kantong kain dilemaskan dengan cara menarik ekornya atau dengan cara menekan nadi pada bagian lehernya.

d. Pinjal didapat dengan cara menyisir rambut tikus berlawanan dengan arah pertumbuhan rambut tikus.

e. Pinjal yang jatuh ditampung dalam timba berwarna putih dengan tinggi timba 45 cm (karena pinjal dapat melompat sampai ketinggian ± 30 cm).

f. Pinjal yang terkumpul dalam timba diambil dengan pipet dan ditampung dalam botol.

g. Setelah meyisir tikus, kemudian melakukan identifikasi.

h. Mengukur panjang total, panjang ekor, panjang kaki belakang, panjang telinga, panjang testis pada tikus jantan.

i. Menghitung jumlah mamae dengan cara mengusapkan kapas yang telah diberi alkohol.

j. Menimbang berat badan tikus menggunakan timbangan.

k. Menetukan jenis tikus yang diidentifikasi.

l. Mencatat hasil identifikasi pada form pengamatan.

m. Pengambilan spesimen

Spesimen darah diambil melalui jantung dengan disposable syringe ukuran 2,5 ml satu tikus satu jarum. Kapas beralkohol 70% dioleskan pada bagian dada, selanjutnya jarum suntik ditusukkan di bawah tulang rusuk sampai masuk lebih kurang 50-75% panjang jarum. Posisi jarum membentuk sudut 45º terhadap badan tikus yang dipegang tegak lurus. Setelah posisi jarum tepat mengenai jantung, secara hati-hati darah dihisap sampai diusahakan alat suntik terisi penuh.

n. Darah yang didapat dimasukkan ke dalam tabung steril berlabel, dan kemudian dipisahkan serumnya. Pemisahan serum menggunakan centrifuge dalam waktu 5 menit.

o. Serum dihisap perlahan dengan pipet kemudian dimasukkan ke dalam tabung serum steril tertutup, diberi label, disimpan dalam suhu -20ºC sebelum dikirim ke Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta untuk pemeriksaan serologis.

p. Pinjal yang ditampung berdasarkan asalnya kemudian diidentifikasi, dan dipisahkan menurut spesiesnya sebagai pooling pinjal. Masing-masing pooling pinjal ditempatkan dalam satu tabung untuk digunakan pemerikasaan bakteriologis.

q. Sampel disimpan dalam cold box yang berisi cold pack selama dalam perjalanan ke laboratorium.

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi

Tikus yang berhasil masuk jebakan yang dipasang di desa Rowosari, Dusun Lemongan Kabupaten Jember sebanyak 13 ekor. Berdasarkan identifikasi pada tikus yang dilakukan selama 5 hari berturut-turut maka diperoleh hasil identifikasi sebagai berikut:

No.	Umur			Jenis kelamin		Ukuran (cm)				Jumlah mamae	Ukuran testis	pinjal	Jenis tikus	Berat badan (gr)
No.	Anak	Remaja	Dewasa	Jantan	Betina	Panjang total	Ekor	Kaki	Telinga	Jumlah mamae	Ukuran testis	pinjal	Jenis tikus	Berat badan (gr)
1.			√	√		31	16	1,5	1,5	6	0,5	2	Diardi	75
2.			√	√		32	16	3	2	4	2,5	2	Diardi	75
3.	√			√		24	12	1,5	1,5	4	1,5	-	Diardi	75
4.			√		√	26	13	2	2	12	-	-	Diardi	25
5.		√		√		30	14	2	2	2	3	2	Diardi	75
6.		√		√		31	15	2	2	2	-	2	Diardi	75
7.			√		√	26	13	2	2	8	-	6	Diardi	60
8.		√			√	26,5	12	2	1,5	6	-	2	Diardi	50
9.			√		√	22	7	1,5	1,5	2	-	3	Curut	75
10.		√			√	30	15	3	2	6	-	1	Diardi	60
11.			√	√		31	16	3,5	2	2	3	2	Diardi	75
12.			√		√	21	7,5	2	1,5	2	-	2	Curut	35
13.			√		√	31	15	3	1,2	8	-	6	Diardi	65

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dari 13 tikus yang berhasil masuk perangkap di Desa Rowosari, Dusun Lemongan, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember. 11 tikus yang tertangkap tersebut merupakan jenis tikus rumah (diardi), sedangkan 2 ekor tikus yang lain adalah curut. Rata-rata tikus yang tertangkap merupakan tikus dewasa yaitu sebanyak 8 ekor tikus. Dari 11 tikus terdapat pinjal pada tubuhnya, pinjal yang ditemukan sebanyak 30 pinjal. Pinjal yang berhasil diidentifikasi merupakan pinjal jenis X. Cheopis yang merupakan pinjal tikus rumah.

Rattus rattus, diardii merupakan jenis tikus rumah. Tikus rumah tidak tinggal di tanah tetapi di semak-semak dan atau atap bangunan. Sedangkan X.cheopis merupakan pinjal tikus rumah. Oleh karena itu X.cheopis ditemukan hanya pada tikus rumah R.rattus. diardii dan Cecurut rumah (Suncus Murinus). Pinjal yang berperan sebagai vektor utama penyakit pes adalah pinjal tikus X.cheopis, disamping pinjal Stivalius cognatus.

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kegiatan trapping dilakukan di desa Rowosari, Dusun Lemongan Kabupaten Jember. Sedangkan identifikasi tikus dan pinjal dilakukan di Puskesmas Sumber Jamber, Kabupaten Jember pada tanggal 10-14 Desember 2012. Berdasarkan hasil trapping di desa Rowosari, Dusun Lemongan Kabupaten Jember, 13 tikus berhasil masuk ke dalam perangkap. Sedangkan berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa 11 tikus terdapat pinjal pada tubuhnya. 11 tikus yang tertangkap merupakan jenis tikus rumah (diardi), sedangkan 2 ekor tikus yang lain adalah curut. Rata-rata tikus yang tertangkap merupakan tikus dewasa yaitu sebanyak 8 ekor tikus. Sedangkan pinjal yang berhasil diidentifikasi merupakan pinjal jenis X. Cheopis yang merupakan pinjal tikus rumah.

5.2 Saran

a. Melakukan pembersihan trap sebelum digunakan, untuk menghilangkan sisa bau tikus yang tertangkap sebelumnya.

b. Penggantian umpan setiap harinya untuk menarik perhatian tikus memakan umpan.

c. Penggunaan label yang tidak mudah lepas. Sehingga mempermudah petugas untuk mengetahui secara tepat kode penempatan trap dan memudahkan proses identifikasi selanjutnya.

d. Adanya pemberitahuan informasi yang tepat tentang segala hal yang harus dilakukan warga dalam membantu menangkap tikus dan memperoleh pinjal. Misalnya seperti penempatan trap yang benar, pemindahan tikus ke dalam kantong, dan lain-lain.

Desy Ayu Lestari_TI-Kelas D_092110101045

Halaman

Cari Blog Ini

Senin, 03 Juni 2013

TUGAS RESUME MICROSOFT EXCEL (FUNGSI VLOOKUP, HLOOKUP, DAN LEFT MID & RIGHT)

Mengenai Saya

Arsip Blog

LAPORAN PENGENDALIAN PES